Blogger templates

my experience about exploration


INVENTARISASI BAHAN GALIAN KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI PAPUA BARAT (10 september 2011)

Perjalanan kali ini, saya ditemani oleh M. Nur Asyikin Abbas dan Ir. Kaharuddin MS. MT. Berangkat ke Bandara Domine Eduard Osok pada pukul 09.45 WITA. Tiba di sana, saya dan Asyikin sorenya langsung di pindahkan ke Pulau Jefman, sebelah Timur Kota Sorong, ditempuh selama 30 menit menggunakan longboat. Keesokkan harinya kira-kira pukul 06.00 WIT, kami kembali mengarugi lautan menuju ke Pulau Waegeo, tepatnya di Ibu Kota kabupaten Rajaampat, yaitu Waisai selama 3 jam perjalanan menggunakan longboat. Di Waisai kami bertemu dengan beberapa orang dari Dinas Pertambangan Provinsi Papua Barat dan dari Dinas Pertambangan Kabupaten Rajaampat. Kurang lebih pukul 12.00 WIT, kami melanjutkan perjalanan kami ke target koordinat lokasi. Lokasi yang kami tuju berada di dalam Teluk Mayalibit, teluk besar yang ada di Pulau Waegeo. Pada saat itu kondisi ombak sangat tenang, namun sesaat sebelum memasuki Teluk Mayalibit, suasana longboat, tiba-tiba kisruh. Ternyata, ombak besar mulai terasa sebelum memasuki Teluk. Hal ini lumrah terjadi, karena akumulasi ombak saat itu dengan kondisi angin yang kencang terkonsentrasi di dinding teluk. Teluk ini sangat unik, bentuknya membesar ke bagian dalam pulau. Pintu masuk teluk sangat kecil, hal ini juga yang menjadi salah satu pemicu kondisi gelombang besar saat itu.
Sekitar pukul 20.00 WIT, kami tiba di desa terakhir di dalam Teluk Mayalibit. Kami terkejut ketika tiba-tiba kepala desa itu berkata bahwa di desa ini ada orang bugis. Kami pun tiba-tiba terhentak kaget. Orang yang namanya bilang saja ”NN” itu kemudian datang dan berbicara dengan kami. Ternyata pemuda itu berasal dari Enrekang, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Pemuda itu bekerja di kantor Distrik Warimark kalau tidak salah ingat. Kami banyak berbincang tentang kondisi kota makassar yang sudah dia tinggalkan sekitar 11 tahun yang lalu. Kota Makassar sekarang sudah berkembang pesat, kata kami sambil tertawa.Sekitar pukul 22.00 kami makan malam sambil melihat teman-teman awak kapal memancing. Malam itu kami beristirahat di dermaga kecil desa itu.
Keesokkan harinya kami mulai masuk ke lokasi yang jadi target eksplorasi. Sungai yang kami lalui sangat menyeramkan, seperti sungai-sungai yang ada di Afrika yang airnya hijau dan tenang. Mata saya saat itu terus menoleh, siapa tahu yang punya sungai muncul, buaya maksudnya, hehehehehe. Longboat pun merapat di rumah kebun tempat membuat sagu mentah. Kira-kira pukul 10.00 WIT kami memulai eksplorasi kami. Banyak sekali buah-buahan hutan yang jarang saya temui yang dimakan oleh masyarakat setempat saat kami berjalan. Tiba-tiba seorang “tete” (kakek) memetik buah dan langsung memakannya. Asyikin tidak mau kalah, diambil jugalah buah itu dan dimakannya. Hemmmm, seperti mangga katanya. Buah itu bentuknya seperti buah bellimbing. Karena masih penasaran dengan nama buah itu, Asyikin pun menyuruh salah satu anggota crew kami untuk menanyakan kepada kakek itu apa nama buah yang dimakannya. Crew kami dari jarak yang agak jauh kemudian bertanya, “tete buah nama apa?” karena kurang mendengarnya kakek kemudian menjawab sambil berjalan: “engggghhhh?“. Pertanyaan itu beberapa kali diulang oleh crew kami namun jawabannya masih tetap saja sama. Karena bosan, crew itu kemudian berkata kepada kami: “tete bilang buah itu namanya buah engggghhhh”. Hahahahahaha, saat itu kami terhentak untuk tertawa. Kira-kira pukul 14.30 WIT, kami bergegas pulang. Langkah panjang saya lakukan menuju ke dermaga tempat pembuatan sagu. Ketika saya berjalan di depan mendahului seorang kakek kemudian tiba di dinding sungai dan siap-siap untuk lompat menyeberangi sungai, tiba-tiba seorang kakek berteriak: “awasssss...., itu sungai namanya sungai buaya”. Saya kaget, kemudian mempersilahkan kakek itu untuk berjalan di depan saya, hehehehehehe. Kira-kira pukul 17.00 WIT kami mempersiapkn diri untuk bergegas kembali ke Waisai. Sesaat sebelum tiba di ujung teluk, suasana longboat kembali kisruh. Perahu kami hampir terbalik karena arus pasang yang kuat masuk melalui dasar laut. Longboat yang kami tumpangi tidak bisa melawan desarnya arus pasang. Saya berusaha untuk tegar di tengah kepanikkan teman-teman yang lain. Tapi, karena pengasihan Tuhan kami pun dapat tiba di Waisai, bahkan di Makassar. Eksplorasi ini berkesan karena saya kagum kepada orang pedalaman di daerah itu yang masih fasih berbahasa indonesia, dari yang muda sampai yang sudah tua.

Gambar persiapan menuju Kota Sorong




Gambar saat berada di longboat persiapan menuju Jefman island

Gambar saat berada di longboat menuju Waisai, Waegeo Island



Gambar saat berada di longboat, menatap Waegeo Island

Gambar bagian depan longboat, sesaat sebelum sampai di Waegeo Island

Gambar Pantai WTC di Ibukota Kabupaten Raja Ampat, Waisai

Gambar suasana longboat persiapan ke Teluk Mayalibit

Gambar cermin sesar dan gores garis pada litologi batugamping saat memasuki Teluk Mayalibit

Gambar sesaat sebelum memasuki Teluk Mayalibit yang sangat luas

Gambar bagian Teluk Mayalibit yang luas

Gambar orientasi medan bersama warga Kampung Warimark

Gambar Gereja di Kampung Warimark

Gambar sebelum berangkat ke kampung terakhir di Teluk Mayalibit

GAmbar dermaga kecil di Kampung Warimark

Gambar situasi saat tiba di kampung terakhir

Gambar Asyikin bersama crab

Gambar saat masak kepiting hasil buruan

Gambar persiapan memancing malam


Gambar Kampung Kabilol, barak perusahaan nikel

Gambar bekas tambang nikel

Gambar sebelum meninggalkan Kampung Kabilol


Gambar sungai seperti Sungai Amazone

Gambar salah satu crew membawa nanas

Gambar saat berada di dermaga tmpat pembuatan sagu
 
Gambar sesaat sebelum meninggalkan Teluk Mayalibit
 
Gambar landscape Jefman Island


Gambar persiapan makan colo-colo
 
Gambar sedang memancing di sekitar Jefman Island

Gambar sesaat sebelum meninggalkan Jefman Island

Gambar gereja setelah tiba di Sorong
 
Gambar sesaat setelah meninggalkan Sorong

BATUBARA DI TRANS. WONOSOBO, SORONG-PAPUA BARAT

Perjalanan kali ini, saya ditemani oleh Asrijal. Kami terbang menuju bandara Domine Edruard Osok pada pukul 03.00 WITA. Kami tiba di kota sorong pada pukul 06.00 WIT. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah transmigrasi Wonosobo di bagian Selatan Kota Sorong, ditempuh selama lebih kurang satu jam dengan menggunakan mobil. Daerah transmigrasi Wonosobo banyak dihuni oleh saudara-saudara kita dari Pulau Jawa. Hampir siang, kira-kira kami bergegas ke Wonosobo. Keesokan harinya kami memulai eksplorasi batubara. Jalur yang kami rencanakan tidak dapat diselesaikan karena kata penduduk sekitar pihak perusahaan yang menggunakan jasa kami belum melakukan “timae”. Timae merupakan ritual adat masyarakat setempat yang harus dilakukan oleh marga pemilik tanah adat sebelum dilakukannya eksplorasi. Ritual ini dilakukan dengan cara pemberian nominal uang kepada pihak pemilik tanah adat yang kemudian akan dibagi rata kepada setiap anggota keluarga. Nominal yang diberikan bervariasi sesuai dengan kesepakatan.
Kegiatan eksplorasi agak tertunda karena hal ini. Bayangkan lokasi penelitian terletak diantara beberapa wilayah kepemilikan tanah adat. Otomatis eksplorasi akan berjalan lancar ketika masing-masing tanah adat telah di “timae”. Karena data yang kami dapatkan kami anggap belum maksimal, maka kami saat itu berinisiatif untuk menInggalkan daerah transmigrasi tersebut dan pidah ke daerah pesisir pantai. Di daerah pantai juga ternyata kami juga menemui kendala yang sama. Yang paling menjengkelkan lagi, saat kami dipakasa masuk oleh pemilik tanah adat ke lokasi yang bukan manjadi lokasi eksplorasi kami. Mereka tidak mengerti bahwa eksplorasi ini telah memiliki batas lokasi yang telah ditentukan. Intinya mereka cuma mau memperlihatkan spot-spot batubara yang kebetulan tersingkap di wilayah tanah adat mereka. Mereka ingin agar eksplorasi secara lebih detail terhadap lokasi tanah adat mereka. Maksudnya baik, agar SDA di wilayah mereka secepat mungkin utuk di eksploitasi, sehingga SDM mereka juga bisa terlibat dalam kegiatan penambangan nantinya. Namun, satu hal yang mereka tidak pahami bahwa kami dibayar bukan untuk mengidentifikasi batubara di lokasi tanah adat mereka. Kami dibyarar oleh perusahaan untuk mengeksplorasi lahan KP yang menjadi hak dari perusahaan tersebut. Gara-gara perselisihan itu juga, sempat terjadi cekcok.
Perusahaan pengguna jasa kami agak kecewa terhadap kinerja kami di lapangan. Namun, secara rinci kami menjelaskan masalah yang sesungguhnya terjadi di lokasi. Hal-hal yang membuat kegiatan eksplorasi ini terhambat kami jelaskan seluruhnya. Eksplorasi ini berkesan karena saya menjadi tahu bahwa adat-istiadat masyarakat di Indonesia sangatlah beragam.

Gambar mobil yang digunakan selama eksplorasi
 
Gambar camp saat di daerah transmigrasi Wonosobo

Gambar persiapan pindah ke camp yang baru di Pelabuhan Klalin

Gambar perencanaan awal camp kedua
Gambar perjalanan ke camp kedua

Gambar sesaat tiba di camp kedua

Gambar camp kedua merupakan barak karyawan perusahaan kayu

Gambar crew selama eksplorasi
Gambar singkapan batubara di lokasi penelitian

Gambar saat input data di hotel kota Sorong

Gambar bandara Domine Eduard Osok sesaat sebelum pulang ke Makassar

MINYAK DAN GAS PADA CEKUNGAN BURU, NAMROLE-BURU SELATAN

Wisata geologiku kali ini, ditemani oleh M. Aulia Asnawi. Kami tiba di Bandara Pattimura Kota Ambon pada pukul 15.00 WIT. Dua hari kami tinggal di Ambon, sambil menunggu jadwal feri yang akan berangkat ke Namrole. Kami berangkat menuju namrole pada pukul 12.00 WIT. Kami tiba di Namrole pada pukul 08.00 WIT keeseokanharinya. Sebenarnya kami terbagi menjadi beberapa tim geologis. Kebetulan lokasi saya saat itu di Ibu Kota Kabupaten Buru Selatan tersebut. Dua hari lamanya kami mencari crew dari masyarakat setempat yang dapat menemani kami nanti ke koordinat lokasi yang sudah kami rencanakan.
Sebelum berangkat, kami sudah banyak berbincang dengan crew kami. Banyak hal yang sudah saya tanyakan, baik itu tentang kebiasaan masyarakat setempat, adat-istiadat yang masih berkembang, kondisi jalur. Crew kami sangat bersahabat. Banyak hal baru yang mereka ceritakan mengenai segala sesuatu tentang Pulau Buru secara umum. Mulai dari Danau Rana sebagai jantung Pulau Buru yang terletak di tengah-tengah pulau ini, kebiasaan-kebiasaan yang tidak boleh dilakukan selaman di lokasi sampai yang paling menyeramkan, yaitu masih adanya kehidupan primitif di hutan Pulau Buru. Mereka bercerita bahwa kehidupan masyarakat yang ada di pesisir dan yang tinggal di gunung sangatlah berbeda. Berbeda dengan masyarakat pesisir, mereka yang tinggal di gunung masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. “Mereka (orang gunung) tidak bisa dipercaya”, kata salah satu crew kami. “Mereka hanya terlihat baik di depan kita, tapi hati-hati saja, semakin kita dekat dengan mereka semakin besar peluang mereka untuk menghabisi kita”. Aduh, saya sedikit panik. Saya agak bertanya-tanya dalam diriku “mereka ceritakan sesuatu yang nyata atau hanya menakut-nakuti saja?”.
Hari ketiga di Namrole pada pukul 10.00 WIT kami bergegas masuk ke lokasi. Kampung terakhir tempat kami melapor masih saya jumpai sebuah gereja, artinya penduduk disini masih beragama. Kami terus berjalan menyusuri Sungai Wae Tina. Menurut masyarakat setempat, Wae Tina berarti air (wae) dan tina (kalau tidak salah ditafsirkan sebagai seorang wanita lembut). Sungai ini menurut penduduk setempat jarang memakan korban dalam kondisi apapun baik itu saat banjir di musim penghujan atau karena binatang buas. Sungai ini sangat lebar. Lebarnya kurang lebih 30 meter, dibagian muara lebih lebar lagi. Bisa mencapai 100 meter lebarnya bahkan lebih. Pada pukul 15.00 WIT kami sampai di percabangan Sungai Wae Tina dn Sungai Wae Nama. “Ini adalah batas antara masyarakat pesisir dan orang gunung”. kata crew kami. Kami memutuskan untuk camp di sini. Karena kami tinggal dekat percabangan sungai yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, maka kami sangat dilarang untuk melakukan beberapa hal, antara lain: kami dilarang untuk mandi dekat dengan cabang sungai, dilarang mendirikan tenda dekat cabang sungai, dilarang kencing dekat cabang sungai, dilarang mandi telanjang, dilarang memasak yang berbau amis kecuali direbus dan dilarang teralu ribut.
Keesokkan harinya, kira-kira pukul 07.00 WIT kami melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Wae Nama. Crew kami sangat terampil dan menguasai medan. Mereka sering melintasi hutan ini untuk mencari kayu gaharu. Medan yang kami lewati cukup berat, yaitu menyusuri derasnya sungai Wae Nama. Pertama kami berjalan masih dengan busana lengkap, namun lama-kelamaan, crew kami hanya menggunakan celana dalam mereka untuk berjalan karena pakaian yang lain dianggap hanya akan memperberat langkah. Akhirnya saya dan Aulia juga hanya berjalan dengan menggunakan celana pendek. Pada pukul 16.00 WIT, kami memutuskan kembali untuk mendirikan tenda. Kamipun segera membersihkan badan dan mempersiapkan makan malam. Pada pukul 22.00 WIT, kami serentak beristirahat.
Keesokkan harinya, kira-kira pukul 03.00 WIT dalam posisi tidur saya terhentak bangun setelah mendengar bunyi ranting patah. Saya tetap pura-pura tertidur dan tidak bergerak. Kami bangun pada pukul 06.00 WIT. Sambil minum teh pagi tiba-tiba seorang crew berkata “tadi subuh ada yang datang lihat kita!”. Setelah mendengar itu masing-masing kamipun bercerita tentang kejadian subuh tadi. Ternyata, saat itu kami semua merasakan kehadiran seseorang, hanya saja kami berpura-pura untuk tidak tahu dan tetap tertidur. “Itu orang hutan, mereka lihat asap yang kita buat tadi malam” kata seorang crew. 15 menit kemudian datang empat orang dari arah hulu sungai. Tiga orang dewasa dan satu orang anak kecil. Mereka memakai lenso (sejenis capung atau sarung tangan besar) di kepala yang menjadi ciri khas orang Buru dan masing-masing membawa sebilai parang panjang. Crew kami juga kemudian mengambil parang yang ada di sampingnya. “Kita tidak boleh jauh dari parang”, kata seorang crew. Kami pun berbincang tentang banyak hal. Ternyata mereka cukup bersahabat. Hanya saja tatapan mata mereka masih terlihat sangat liar dengan senyuman yang agak dipaksa sambil makan sirih. “Katong (kami) baru dari pi cek katong pu (punya) perangkap babi” kata seseorang dari mereka. “Katong tinggal di dusun kelapa di sebelah sana” kata seseorang lagi. Kurang lebih lima belas menit kami berbincang dengan mereka sambil minum kopi. Mereka pun pergi meninggalkan kami sambil mengajak singgah di dusun kelapa milik mereka.
Pada pukul 08.00 kami melanjutkan perjalanan menuju lintasan yang telah kami tentukan. Beberapa alat kami tinggalkan di tenda kami. Sekitar satu jam kami berjalan kami tiba-tiba melihat seperti sebuah perkampungan. Saat itu kami melihat sebuah rakit. Rencananya, kami akan membeli rakit itu sebagai alat bantu mobilisasi conto batuan yang kami bawa. Kami terus melanjutkan perjalanan karena tidak melihat seorang pun yang datang menghapiri kami saat itu. Pada pukul 12.00 kami memutuskan untuk pulang ke camp. Saat kami melewati perkampungan itu kembali, kami melihat ada seorang ibu sedang mencuci pakaian. Tiba-tiba ibu itu berlari ketakutan naik ke perkampungan, mirip sekali seperti orang primitif yang lihat pendatang baru. Saya kurang tahu kenapa, apakah karena lihat pendatang baru atau karena takut lihat crew kami yang hanya jalan pake celana dalam, hehehehe. “Aduh cilaka dong datang bawa tombak deng parang” kata seorang crew. Selang beberapa menit kemudian turunlah sekitar lima orang pria berbadan kekar datang menghampiri kami. Untungnya mereka tidak membawa senjata apapun. Kami pun menjelaskan maksud kedatangan kami. Singkat cerita, kami menawar rakit yang mereka miliki untuk di jual kepada kami. Mereka pun berbincang dan berkata “sudah naik ke atas dolo bicara deng kakak, ontua yang punya ini”. Saya kemudian teringat serita crew kami bahwa jangan sampai mereka mengajak berbincang ke dalam rumah mereka. Mereka (orang gunung terus memaksa secara halus). Kami pun naik ke perkampungan. Rumah di kampung itu sekitar 5 sampai 6 rumah. Penduduknya semua bersaudara. Dari jauh saya agak gembira melihat sebuah ornamen menyerupai bentuk salib, seperti bentuk salib di pekuburan nasrani. Namun, rasa gembira itu hilang ketika saya melihat ornamen itu dari jarak dekat. Ternyata itu merupakan ornamen  menyerupai orang-orangan sawah dengan kepala yang terbuat dari tempurung kelapa. “astaga, ornamen penyembahan kepercayaan animisme ini” kataku dalam hati.
Singkat cerita setelah lama berbincang, kebetulan salah seorang crew kami paham sedikit tentang bahasa Buru. Saat berbincang dengan mereka terkadang sesama mereka (orang gunung berbincang menggunakan bahasa buru). Mereka kemudian bersedia menjual rakit mereka. Kamipun saat itu segera bergegas pulang. Waktu saat itu menunjukkan pukul 16.00 WIT. Rakit yang kami beli hanya bisa dinaiki oleh dua orang. Saat itu Aulia bersama seorang crew kami yang menaikinya sambil melengkapi data yang belum sempat diambil pagi tadi. Saya dan dua orang crew yang lain berjalan kaki melalui jalan kompas yang ada menurut orang gunung. Saat itu, tujuan kami pulang sambil mencari dusun kelapa tempat orang gunung lain yang pagi tadi menghampiri tenda kami. Ternyata dusun kelapa itu tidak berpenghuni. Salah satu crew kami mengira bahwa orang gunung yang pagi tadi datang tinggal sekampung dengan mereka yang tadi baru kami jumpai, ternyata itu salah. Saya dan dua orang crew kami lebih dahulu tiba di camp. Salah satu dari crew menyuruh kami untuk segera bergegas pindah lokasi camp, karena orang kampung sudah mengetahui tempat tinggal kami. Sambil menunggu Aulia datang kami telah mempersiapkan semuanya untuk bergegas pindah. Saat Aulia datang keanehan juga diceritaknnya. “Saya lihat bapak yang punya rakit itu jalan menyusuri punggungan bukit belakang rumanya, saya kira mau ke kebun tapi ini sudah hampir jam 5 sore mana mungkin ada orang ke kebun jam begini” kata Aulia. Kami pun bergegas. Rencananya kami hanya mau pindah 100 sampai 200 meter dari camp kami sebelumnya. Namun, karena rasa takut yang berlebihan pada pukul 20.00 WIT kami sudah tiba di percabangan sungai. Kata seorang crew, “kalau sudah sampai di sini, mereka (orang gunung) sudah tidak berani datang”. Aduh, selamatlah kami dari maut.

Keesokkan harinya kami bergegas pulang ke kona Namrole mengunakan rakit. Rekit sempat terjungkir balik saat melewati jeram. Saat itu tangan Aulia berdarah setelah memegang ruas bambu yang tajam. Satu tas conto batuna juga hilang setelang tenggelam di dalam pusaran arus jeram. Eksplorasi ini berkesan karena kami diperhadapkan dengan budaya Indonesia yang sangat luar biasa.  

Gambar saat beristirahat di kampung terakhir

Gambar percabangan Sungai Wae Tina dan Wae Nama

Gambar camp hari pertama

Gambar saat makan malam

Gambar saat menyusuri derasnya arus sungai

Gambar saat berada di dtasiun terakhir lokasi penelitian

Gambar sedang mengukur kedudukan batuan

Gambar sedang sketsa singkapan

Gambar persiapan perjalanan pulang dengan menggunakan rakit

Gambar saat perjalanan pulang ke Namrole

Gambar sedang belajar kendalikan rakit

Gambar tim geologis dan geidetik
Gambar saat jadi pembanding singkapan

Gambar tim eksplorasi Lintasan Wae Tina

Gambar saat sedang menikmati perjalanan dengan menggunakan rakit

Gambar KM Badaleon

Gambar KM Badaleon saat tiba di Pelabuhan Namrole

Gambar sesaat sebelum tim berpisah

Gambar saat memperiapkan logistik lapangan

0 komentar:

Posting Komentar